Rabu, 21 Mei 2025

Cahaya di Ujung Langit

 

Malam itu sunyi, hanya suara angin yang menggoyangkan dedaunan di halaman masjid tua di lereng bukit. Amir duduk bersila di serambi masjid, matanya menatap langit yang gelap tanpa bintang. Hatinya lebih gelap dari langit di atasnya—penuh tanya, penuh sesal.

Sudah bertahun-tahun ia mengejar dunia: jabatan tinggi, harta berlimpah, pujian manusia. Tapi semua itu kini terasa kosong. Ayahnya yang alim dan sederhana telah wafat dua minggu lalu, meninggalkan sepotong wasiat yang singkat tapi menggugah:

"Jika ingin menemukan dirimu, temuilah Allah dalam sunyi, bukan dalam sorak dunia."

Wasiat itu membawa Amir ke sini—masjid kecil di kampung ayahnya. Ia menghabiskan malam-malam dengan shalat, membaca Al-Qur’an, dan diam dalam perenungan. Awalnya hampa, tak ada rasa, tak ada jawaban. Tapi ia terus bertahan.

Hingga suatu malam, setelah rakaat terakhir tahajudnya, air matanya jatuh begitu saja. Bukan karena sedih, tapi karena ia merasa disentuh oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Hatinya terasa ringan, lapang, dan damai.

Ia teringat satu ayat yang sempat ia baca siang harinya:

"Barang siapa yang datang kepada-Ku berjalan, maka Aku datang kepadanya berlari." (HR. Muslim)

Dalam diamnya, Amir sadar: ia telah terlalu lama berjalan ke arah yang salah. Kini ia berbalik, perlahan, menuju cahaya yang selama ini hanya tinggal ia buka—cahaya Allah dalam hatinya.

Sejak malam itu, hidup Amir berubah. Ia tetap bekerja, tetap bertemu orang-orang, tapi hatinya tidak lagi bergantung pada dunia. Ia menjadi lebih ringan, lebih tenang, lebih ikhlas. Dan dalam setiap sujudnya, ia temukan jawaban yang selama ini ia cari.

Bukan di luar dirinya, tapi di dalam—di tempat yang hanya bisa disentuh oleh nur Ilahi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar