Hujan makin deras. Rintik-rintik yang tadi lembut kini jatuh deras dan berat, membasahi kain jilbab yang sudah lecek.
Tapi Lara dan Dina masih saling tarik.
Bukan lagi tarik dengan tenaga penuh seperti tadi. Tapi genggaman mereka belum lepas. Ujung jilbab Lara masih berada di tangan Dina, dan sebaliknya.
Mereka mulai berjalan...
Saling tarik sambil melangkah.
Tidak bicara. Tidak saling tolak. Tapi juga tidak melepaskan.
Langkah mereka canggung, seperti dua orang yang terikat tali tak terlihat.
Satu melangkah ke kiri, yang lain ikut.
Satu berhenti sebentar untuk menyapu air hujan dari wajah, yang lain tetap genggam erat.
Akhirnya mereka sampai di sebuah sudut parkiran yang agak teduh—di bawah atap kecil dekat tangga darurat.
Sunyi. Sepi. Basah.
Cahaya lampu remang membuat bayangan mereka membentuk siluet dua perempuan yang masih terkunci dalam genggaman jilbab.
Mereka berdiri.
Diam.
Basah kuyup.
Masih saling genggam kain satu sama lain.
Dina menatap Lara. Wajahnya sudah tak lagi garang. Napasnya mulai pelan.
“Gue gak tahu... kenapa gue segila itu tadi,” katanya pelan.
Lara menunduk. “Karena lo gak mau kalah. Sama kayak gue.”
Beberapa detik hening. Lalu perlahan, genggaman mereka mulai mengendur...
Tapi tidak langsung dilepas.
Mereka tetap pegang. Bukan karena marah lagi. Tapi... seperti belum siap benar untuk melepaskan.
Dan di situ, di sudut sepi parkiran yang teduh dari hujan, dua perempuan muda berdiri—genggaman mereka masih menyisakan sisa dari pertarungan tadi.
Bukan lagi pertarungan jilbab.
Tapi pertarungan untuk mengakui bahwa mereka sama-sama terluka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar