Minggu, 25 Mei 2025

"Jilbab vs. Jilbab: Pertarungan Dua Gaya, Satu Harga Diri"

 

Jam istirahat kedua. Lapangan belakang sekolah sepi, hanya ada semilir angin dan langkah kaki dua siswi yang tak sengaja bertemu: Kirana, si kalem tapi tajam, dan Desi, si ceplas-ceplos yang suka mengolok gaya orang lain.

“Kirana,” sapa Desi sambil menyeringai. “Gaya jilbab lo hari ini... mirip banget sama gaya aku bulan lalu. Kangen ngekorin aku?”

Kirana menghentikan langkah. Ia menatap Desi dengan tenang, tapi tatapannya menusuk.

“Desi, ini kain, bukan identitas lo.”

Desi mendekat, wajahnya hanya berjarak sejengkal. “Tapi lo selalu niru. Lo gak punya ciri sendiri.”

Tes.

Detik berikutnya, Kirana menarik ujung jilbab Desi—bukan pelan, tapi sentakan tajam. Kepala Desi tersentak ke samping. Serentak, Desi membalas: dia menggenggam lipatan jilbab Kirana dan MENARIKNYA KE BAWAH.

“AWWW!” teriak Kirana, satu sisi ciputnya hampir melorot. Tapi bukannya mundur, dia balik meraih simpul bros Desi dan mencabutnya. Jilbab Desi nyaris terlepas.

Mereka berputar, saling tarik, saling lilit. Satu menarik dari belakang, satu lagi menyerang dari samping. Jilbab sebagai senjata dan pelindung berubah jadi alat duel. Peniti mental ke tanah. Ciput melorot. Kain satin, katun, dan voal berkibar seperti bendera perang.

Desi mencoba melilit ujung jilbabnya ke leher Kirana seperti tali, tapi Kirana sigap, menariknya balik dan menguncinya di pundak Desi. Mereka terdorong ke tembok.

Kirana berbisik, sengit, “Masih pikir lo paling trendi?”

Desi menahan tarikan, giginya mengatup. “Setidaknya gue gak pura-pura polos sambil nyontek gaya orang!”

Lalu... hening. Nafas mereka berat, kepala tertunduk, kain berantakan, rambut sedikit terurai, tapi tak ada yang menyerah. Mereka berdiri tegak, saling memandang, sama-sama tahu: tak ada pemenang dalam perang jilbab, yang ada hanya ego yang dikupas habis.

Tanpa sepatah kata, mereka berbalik arah, meninggalkan tempat itu—jilbab kusut, hati panas, tapi gengsi tetap di dada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar