Di sebuah desa kecil bernama Langgar, yang terletak di lereng gunung dan kerap diselimuti kabut tipis di pagi hari, ada sebuah menara tua menjulang ke langit. Menara itu tidak pernah digunakan, namun selalu berdiri tegak—sebuah garis lurus menuju langit. Orang-orang desa menyebutnya “Vertikal”.
“Vertikal itu bukan sekadar menara,” kata Kakek Darma, penjaga langgar tua di seberang jalan. “Itu simbol. Bahwa manusia harus lurus, tegak, dan selalu mengarah ke atas, kepada Yang Maha Tinggi.”
Namun, di balik kesan suci dan teguh itu, tersimpan cerita lama yang tak banyak diketahui orang. Dulu, Vertikal dibangun oleh seorang arsitek muda bernama Iskandar. Ia menciptakan menara itu bukan hanya sebagai lambang spiritual, tapi sebagai alat komunikasi—semacam penunjuk arah kepada langit.
Suatu malam, badai besar datang. Petir menyambar, angin mengamuk, dan langit seperti merobek batas bumi. Esok paginya, warga Langgar menemukan bahwa puncak Vertikal patah. Retakannya membelah struktur itu miring ke samping, menciptakan bayang-bayang yang tak lagi lurus. Sejak saat itu, orang-orang mulai menyebutnya “Vertikal yang Dilanggar”.
Namun tak ada yang tahu siapa—atau apa—yang benar-benar melanggar Vertikal.
Tahun berganti, dan seorang remaja bernama Raya tumbuh di bawah bayang-bayang menara miring itu. Ia selalu merasa Vertikal itu seperti dirinya: tak lagi lurus, tak seperti yang diharapkan orang. Ibunya ingin ia jadi guru, ayahnya ingin ia jadi petani. Tapi Raya mencintai langit. Ia sering duduk di dekat Vertikal, menggambar bentuk awan, mencatat arah angin, dan bertanya dalam hati: Kenapa menara ini harus tegak? Apa salahnya miring?
Suatu malam, saat kabut menebal dan bulan menghilang, Raya mendengar suara aneh dari dalam menara. Suara logam bergesek dan bisikan samar, seperti rintihan. Rasa penasaran membawanya memanjat menara itu untuk pertama kalinya. Anak tangga berderit, debu menebal, dan di ujung tangga spiral yang meliuk bagai pusaran waktu, ia menemukan sesuatu: buku catatan tua milik Iskandar.
Dalam catatan itu, Iskandar menulis:
"Menara ini tidak dibangun untuk berdiri tegak selamanya. Suatu hari, ia harus patah, agar manusia tahu: jalan ke atas tak selalu lurus. Kadang harus miring. Kadang harus dilanggar, agar bisa menemukan arah baru."
Raya terdiam. Lalu tersenyum.
Keesokan harinya, ia menggambar ulang menara itu. Tidak lurus. Tapi melingkar, menjulur seperti tangga DNA menuju langit. Sebuah simbol bahwa pertumbuhan tidak harus dalam garis lurus. Bahwa menjadi miring, berbeda, bukan berarti salah.
Dan desa Langgar pun berubah. Menara yang dulu dianggap rusak, kini disebut “Menara Raya”—sebuah vertikal yang dilanggar, tapi justru membuka jalan ke atas yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar