Di halaman belakang sekolah, suasana yang biasanya riuh kini dipenuhi bisik-bisik dan tatapan penasaran. Dua siswi—Lina dan Siska—berdiri saling berhadapan. Teman-teman mereka membentuk lingkaran, tak satu pun berani mendekat, tapi juga tak ada yang mau menghentikan.
"Aku udah bilang jangan sebarin gosip soal aku!" bentak Lina dengan wajah memerah.
Siska mengangkat dagunya, santai tapi tajam. "Kalau kamu gak mau digosipin, jangan kasih bahan."
Urat di pelipis Lina mulai terlihat. Kata-kata Siska menusuk, apalagi sejak kejadian kemarin di kantin saat banyak orang mulai membicarakan hubungan Lina dengan kakak kelas. Lina tahu, semua berawal dari mulut Siska.
Tanpa aba-aba, Lina maju dan langsung menjambak rambut panjang Siska. Suara teriakan mengiringi gerakannya. Rambut hitam yang disisir rapi pagi tadi kini tercerabut dari akarnya.
Siska balas menarik rambut Lina dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mendorong bahu lawannya. Mereka saling tarik, kepala saling tersentak, langkah kacau seperti penari yang kehilangan irama.
"Aduh! Lepasin rambut aku!" jerit Siska.
"Kamu duluan yang bikin masalah!" balas Lina, matanya berkaca-kaca—antara marah dan sakit.
Salah satu teman mereka, Reni, mencoba melerai. "Udah dong! Rambut kalian bisa botak beneran nanti!"
Tapi kedua gadis itu tidak peduli. Perkelahian kecil berubah menjadi ledakan emosi remaja yang penuh ego dan rasa malu. Butuh dua guru untuk memisahkan mereka, dengan rambut acak-acakan dan sisa-sisa air mata di pipi.
Setelahnya, mereka duduk diam di ruang BK. Tak ada kata. Hanya napas berat dan sesekali lirikan tajam. Tapi di dalam hati, keduanya tahu—semua ini sebenarnya hanya soal harga diri yang terlalu rapuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar