Rabu, 21 Mei 2025

Tiga Cahaya di Balik Satu Langit

 

Di sebuah kota ilmu bernama Baytul Ma’arif, berdiri sebuah madrasah agung yang menjadi tempat berkumpulnya para pemuda Muslim dari penjuru dunia. Dari sekian banyak murid, tiga di antaranya paling sering dibicarakan:

  • Zayd, si Muslim Jenius: ia mampu menghafal satu kitab tebal dalam semalam. Pemikirannya melompat jauh dari orang biasa, selalu menemukan jalan keluar yang tak terpikirkan orang lain.

  • Halim, si Muslim Pintar: ia rajin, tekun, teliti, dan sangat logis. Setiap tugasnya sempurna, setiap soal ia jawab berdasarkan prinsip dan metode yang kuat.

  • Fahmi, si Muslim Cerdas: ia tahu bagaimana menghadapi orang, menyampaikan ide dengan kata-kata yang bijak, dan cepat membaca situasi. Ia memahami bukan hanya ilmu, tapi juga hikmah di baliknya.

Mereka bertiga adalah sahabat, namun juga sering dibandingkan. Suatu hari, sang guru besar—Syaikh Umar—menguji mereka dengan tantangan yang tidak biasa.


Ujian: Menyelesaikan Perselisihan di Desa Qalbi

Desa Qalbi sedang dilanda masalah. Warga saling berselisih tentang penggunaan air sungai: petani ingin mengairi sawah, sementara pengrajin ingin membuat kanal untuk industri kecil. Jika tidak diselesaikan, persatuan desa akan runtuh.

Guru besar berkata, “Pergilah kalian bertiga. Bukan siapa yang paling cepat yang menang. Tapi siapa yang paling bijak dalam memberi solusi.”


Zayd langsung menyusun rumus-rumus pembagian air berdasarkan volume dan waktu. Ia membuat alat pengukur aliran sungai dalam semalam. Secara teknis, solusi Zayd sempurna. Namun, warga desa sulit memahami rumusnya.

Halim membuat perhitungan dan presentasi sistem rotasi air. Ia memberi jadwal bergilir: pagi untuk petani, sore untuk pengrajin. Rinci dan jelas. Tapi tak semua warga bisa hadir tepat waktu, karena ada yang harus bekerja di ladang sejak Subuh.

Fahmi tidak langsung memberi solusi. Ia duduk bersama petani, lalu berbicara dengan para pengrajin. Ia mendengar keluhan mereka, memahami budaya mereka, dan akhirnya berkata:

“Air adalah rezeki Allah, dan rezeki itu bisa cukup jika hati kita lapang. Mari kita bentuk tim musyawarah, isi dengan perwakilan semua pihak. Kita putuskan bersama, dan jaga bersama.”

Lalu Fahmi menggabungkan ide Halim dan alat buatan Zayd, tapi ia menyampaikannya dengan cara yang bisa dipahami semua orang. Warga pun sepakat dan damai kembali.


Ketika mereka kembali ke madrasah, Syaikh Umar berkata:

“Zayd adalah kilat. Halim adalah cahaya. Tapi Fahmi… adalah matahari yang menghangatkan semuanya.”

“Kalian semua hebat. Tapi ingat, ilmu bukan hanya tentang tahu dan bisa. Ilmu paling tinggi adalah mampu membuat kebaikan sampai ke hati orang lain.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar