Minggu, 25 Mei 2025

Tarikan Tanpa Maaf (Bagian 2)

 

Angin sore makin kencang. Jilbab mereka sudah kusut parah. Ciput keduanya sudah separuh keluar, dan helai-helai rambut mulai menyembul di sela lipatan kain yang tertarik.

Tapi tak ada yang peduli.

Mereka masih saling tarik.
Saling genggam kain jilbab dengan jari yang mulai memutih karena kekuatan genggaman.

Dina mulai mendorong sedikit, mencoba menekan bahu Lara sambil tetap menarik jilbabnya. Lara malah menarik makin kuat, kini dengan kedua tangan.

Kain berbunyi, seperti akan robek.
Wajah mereka nyaris bersentuhan. Nafas mereka berat, tercampur antara marah dan lelah.

Orang-orang menonton dari jauh. Ada yang rekam pakai HP, ada yang berbisik pelan:

“Itu si Lara ya?”
“Yang satu Dina... oh, ini pasti karena Arman…”
“Eh gila, udah lima menit mereka gitu terus!”

Tapi tidak ada yang berani mendekat.

Sampai akhirnya... hujan turun.

Rintik-rintik kecil membasahi jilbab mereka yang sudah kusut. Tapi genggaman masih belum lepas.

Mereka mulai gemetar, bukan karena dingin, tapi karena campuran antara kelelahan dan ego. Mata mereka mulai basah—bukan karena hujan saja.

Dan lalu, perlahan...

Dina berbisik, masih dengan tangan di jilbab Lara:

“Gue gak akan minta maaf. Tapi gue juga gak mau gini selamanya.”

Lara menelan ludah, tatapannya melembut.

“Sama.”

Tapi... tidak satu pun melepas genggaman.
Belum.
Belum saatnya. Karena melepaskan duluan... terasa seperti kalah.

Dan di bawah hujan, di parkiran café, dua perempuan muda berdiri—basah, kusut, lelah, tapi masih tarik-tarikan jilbab, seperti dua bendera perang yang belum diturunkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar