Hari Minggu siang. Cuaca terik. Parkiran gedung pertemuan arisan komplek mendadak jadi arena tegang. Orang-orang baru saja keluar dari ruang aula, bawa kotak snack, dan senyum palsu.
Tapi dua wanita tidak tersenyum: Bu Rani dan Bu Mira.
Bu Rani: tampil modis, jilbab pashmina lilit dua kali, bros bunga emas.
Bu Mira: gaya syar’i elegan, jilbab panjang ke pinggang.
Dua-duanya sering adu gaya, adu prestise, adu ucapan paling tajam.
Sore itu, pertengkaran kecil soal kue nastar berubah jadi... perang jilbab.
"Aku tahu kamu yang ngomporin Bu RW soal tabungan arisan aku," kata Bu Rani, tajam seperti ujung eyeliner-nya.
"Kalau gak ada yang ditutupin, ngapain panik?" balas Bu Mira sambil mendekat.
Dan tiba-tiba...
Ckrap!
Bu Rani langsung menarik ujung jilbab Bu Mira dari samping—keras, cepat, penuh amarah. Kepala Bu Mira tersentak sedikit.
Tak mau kalah, Bu Mira balas mencengkeram bagian atas jilbab Bu Rani dan MENARIKNYA KE BAWAH, seperti membuka tirai rumah tetangga.
Kain berjuntai terjepit di genggaman. Mereka saling tarik, langkah maju mundur, kain tergulung, bros mental ke aspal.
"LEPASIN JILBAB SAYA, BU!"
"LEPASIN DULU JILBAB SAYA DONG, BU!"
Tapi tidak ada yang lepas.
Keduanya kini saling tarik jilbab seperti main tarik tambang. Tangan gemetaran, napas ngos-ngosan, sandal nyaris copot, tapi genggaman makin erat.
Orang-orang di sekeliling hanya bisa menonton—setengah syok, setengah takjub. Tak ada yang berani mendekat.
Karena ini bukan sekadar pertengkaran ibu-ibu.
Ini pertempuran kehormatan, harga diri, dan kain kerudung.
Satu menit. Dua menit. Masih saling tarik.
Wajah merah. Mata melotot. Tapi tak ada yang goyah.
Di antara dua mobil Avanza dan Xpander, dua wanita berdiri, tangan terkunci di jilbab lawannya, dalam duel hening namun sengit.
Tidak ada suara. Hanya kain yang semakin kusut... dan ego yang makin membara.
Dan di parkiran kosong itu, sejarah baru tercatat:
Perkelahian jilbab... tanpa satu pun yang mau melepaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar