Namanya Rafi. Di mata dunia, ia hanyalah seorang Muslim biasa: tidak terlalu dikenal, tidak pula menonjol. Tapi di dalam dirinya, tumbuh sebuah tujuan besar — menjadi lebih dekat dengan Allah, setahap demi setahap, seperti seorang petani yang berkultivasi tanahnya hingga subur dan hidup.
Ia menyebut perjalanannya: kultivasi ruhaniyah — pemurnian jiwa dalam Islam.
Rafi mulai dengan taubat yang sungguh-sungguh. Ia bersujud lama, menangis dalam diam, meminta ampun atas tahun-tahun yang ia habiskan dalam kelalaian.
Setiap hari, ia menanam benih-benih ibadah:
-
Shalat malam, meski hanya dua rakaat.
-
Membaca Qur’an, meski satu halaman.
-
Menjaga lisan, meski ingin membalas.
-
Menahan amarah, meski hatinya terbakar.
Ia berkata dalam hati,
“Aku bukan orang suci. Tapi aku ingin bersih.”
“Aku bukan ahli surga. Tapi aku ingin pantas mencintai-Nya.”
Orang-orang mulai melihat perubahan dalam dirinya. Rafi menjadi lebih tenang, lebih sabar, lebih damai. Namun, ia tak merasa lebih tinggi dari siapa pun.
Ia tahu, kultivasi terbesar adalah mengalahkan diri sendiri.
“Musuh terbesarku adalah egoku. Dan aku akan terus melawannya sampai akhir hayat.”
Pada suatu malam, ia bermimpi berjalan di kebun cahaya. Di sekelilingnya tumbuh pohon-pohon emas. Ketika ia bertanya kepada sosok cahaya dalam mimpinya,
“Apa ini?”
Jawabannya lembut,
“Ini adalah kebun yang kau tanam sendiri, Rafi. Dengan zikir, sabar, doa, dan istighfar. Inilah hasil kultivasi jiwamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar