Rabu, 21 Mei 2025

Lingkaran Kematian

 

Di tengah hutan belantara yang tak pernah dijamah manusia, ada sebuah tempat terlarang. Orang-orang desa menyebutnya "Lingkaran Kematian"—sebidang tanah bundar, selebar lima meter, di mana tidak ada rumput tumbuh, tidak ada hewan berani melintas, dan udara terasa dingin meski matahari bersinar terik.

Konon, siapa pun yang menginjakkan kaki di dalam lingkaran itu... tidak akan keluar dengan jiwa yang sama. Kalau keluar hidup-hidup pun, wajahnya akan berubah pucat seperti abu, dan ia akan membisu sepanjang hidupnya—seolah membawa rahasia yang terlalu mengerikan untuk diucapkan.

Namun, di desa itu, ada seorang pemuda bernama Gilang, keras kepala dan penuh rasa ingin tahu. Ia tak percaya takhayul. Ia ingin tahu, apa sebenarnya yang ada di balik Lingkaran Kematian itu?

“Apa yang kalian sebut kutukan,” katanya suatu malam, “mungkin hanya misteri yang belum dipecahkan.”

Orang-orang melarangnya. Ibunya menangis, sahabatnya memohon. Tapi Gilang sudah mantap. Ia membawa kompas, kamera, dan senter. Lalu, pada malam bulan baru—saat langit hitam sempurna—ia berjalan masuk ke tengah hutan.

Dan ia menemukannya.

Lingkaran itu memang nyata. Tanahnya hitam. Sepi. Tak ada suara burung. Tak ada desiran daun. Seolah dunia menahan napas.

Dengan satu langkah penuh tekad, Gilang masuk ke dalam lingkaran.


Seketika, dunia berubah.

Ia tidak lagi berada di hutan. Ia berada di tengah dataran kosong, dikelilingi kabut kelabu. Di sekelilingnya, berdiri sosok-sosok berjubah hitam dengan wajah tersembunyi. Mereka membentuk lingkaran. Diam. Menghadap ke tengah—ke tempat Gilang berdiri.

Satu suara bergema, dalam bahasa yang tak ia mengerti. Tapi entah kenapa, ia paham artinya.

"Kau masuk ke dalam Lingkaran. Maka kau harus memilih: mengakhiri... atau mengulang."

“Memilih apa?” tanya Gilang. Suaranya bergema, lalu tenggelam.

"Setiap jiwa yang masuk ke sini membawa beban. Jika kau ingin keluar, kau harus menyerahkan sesuatu: kenangan, rasa, atau waktu."

Gilang terdiam. Sosok-sosok itu makin mendekat. Nafasnya tercekat. Ia mulai mengingat—wajah ibunya, suara sahabatnya, rasa takut yang selama ini ia tolak.

“Aku…” bisiknya, “aku ingin tahu.”

"Maka kau akan tahu. Tapi kau takkan utuh."


Ketika pagi datang, orang-orang menemukan Gilang berdiri di tepi Lingkaran. Ia selamat. Tapi matanya kosong. Bibirnya tak pernah bergerak lagi. Ia duduk di beranda rumahnya setiap hari, menatap hutan.

Beberapa malam, ia menggambar di tanah—lingkaran demi lingkaran, dengan wajah-wajah tanpa nama di sekelilingnya.

Orang-orang akhirnya percaya: Lingkaran Kematian bukan sekadar mitos. Itu adalah tempat di mana dunia nyata dan dunia lain bertemu. Tempat yang menguji jiwa... dan hanya mengembalikan yang bersedia kehilangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar