Minggu, 25 Mei 2025

Tarik Terakhir: Jilbabmu, Jilbabku

 

Di lorong belakang musholla sekolah, dua siswi berdiri saling mendekat. Tidak ada yang bicara. Angin mati. Mata tajam. Napas berkejaran.

Namanya Aurel dan Meisya.

Masalahnya? Tidak penting lagi. Entah status WhatsApp sindir-sindiran, entah rebutan tempat duduk, entah soal cowok atau cuma jilbab baru. Yang pasti, sekarang mereka sudah berdiri terlalu dekat untuk mundur.

Aurel yang pertama bergerak. Tangannya melesat cepat, mencengkeram ujung jilbab Meisya—yang warna lavender dengan bros kupu-kupu.

“Jangan main tarik,” kata Meisya rendah.

“Gue udah tarik,” balas Aurel, matanya tak berkedip.

Meisya langsung balas: dia genggam erat sisi jilbab Aurel—tepat di bagian bahu, dan menariknya ke depan dengan tenaga penuh gengsi.

Kini mereka saling tarik. Kain meregang. Leher tertarik. Wajah makin dekat.

“Lepasin,” desis Meisya.

“Duluan lo,” kata Aurel. Tarikannya makin kencang.

Meisya tidak jawab. Tapi dia menggenggam lebih dalam, memutar sedikit ujung jilbab Aurel seperti membentuk simpul, agar genggamannya tak mudah dilepas.

Detik demi detik berlalu. Tak ada kata. Hanya dua tangan yang mencengkeram erat jilbab lawan. Tak ada yang mau menyerah. Tak ada yang bersuara. Bahkan mata pun tak mau berkedip duluan.

Jilbab mereka mulai kusut. Kainnya mengkerut. Ciput terdorong mundur perlahan. Tapi genggaman mereka justru makin erat.

Saling tarik.
Saling tahan.
Saling uji siapa lebih keras kepala.

Beberapa detik berubah jadi menit. Keringat mulai muncul di pelipis. Tapi tak satu pun dari mereka melepas cengkeramannya.

Karena ini bukan soal jilbab lagi.

Ini soal harga diri.
Siapa yang lebih tahan.
Siapa yang tak akan melepaskan lebih dulu.

Dan di lorong sepi itu, dua gadis remaja berdiri dalam perang sunyi jilbab, saling tarik… sampai entah siapa yang akan menang.

Atau mungkin…
Tak satu pun mau menang. Yang penting: tidak kalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar