Di sebuah tempat parkir café yang baru buka, senja turun perlahan. Langit oranye, lampu mulai menyala, dan orang-orang sibuk ambil foto minuman mereka.
Tapi di sisi parkiran, dua perempuan muda berdiri saling menatap.
Lara dan Dina.
Mereka pernah akrab. Sama-sama cantik, sama-sama aktif di komunitas. Tapi hari ini? Tidak ada sisa keakraban.
“Aku liat chat kamu ke Arman,” kata Lara dingin.
Dina mengangkat alis. “Itu urusan aku. Bukan pacar kamu, kan?”
Seketika... tangan Lara bergerak. Dia meraih jilbab Dina—model segi empat yang dililit elegan—dan MENARIKNYA KERAS ke belakang.
Dina terdorong setengah langkah, tapi dia langsung balas: tangan kanannya menyambar sisi jilbab Lara, menariknya ke samping sampai lipatan kain di leher Lara melorot.
Kini mereka saling tarik jilbab.
Kain bergetar di tangan mereka, seperti medan listrik.
Wajah dekat, napas panas, tapi tak ada yang mau mengalah.
Tarikan makin kencang. Dina menarik dari bawah dagu. Lara membalas dari belakang kepala. Bros melayang. Ciput mulai goyang. Tapi genggaman mereka justru makin kuat.
“Lepasin duluan, kalau berani,” tantang Dina.
“Nggak akan gue lepas. Sampai lo ngaku,” balas Lara.
Mereka seperti terkunci.
Tarik. Tahan. Tarik lagi.
Bahu mereka sama-sama tegang. Rambut nyaris terlihat. Tapi tidak ada yang gentar.
Orang-orang mulai memperhatikan. Tapi tak ada yang mendekat. Karena jelas: ini urusan pribadi yang panasnya melebihi kopi espresso di dalam café.
Satu menit. Dua menit.
Masih saling tarik jilbab.
Masih saling kunci kain, tangan bergetar karena emosi.
Ini bukan soal cowok lagi.
Ini tentang harga diri.
Tentang siapa yang lepas lebih dulu.
Dan jawabannya: bukan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar